Jum’at, 21
Februari 2014. Pukul 20.46 PM.
Sebuah ruangan
di lantai 2 kediaman Bpk. Nurkholis Setiawan—Jogja—
Ruangan ini
terasa penuh sesak akan memori setahun belakang yang telah kulalui. Banyak kisah
yang mengisi setiap hariku, yang dari hari-hari tersebut, berkumpullah sebuah
nama “minggu” lalu “bulan”, hingga “tahun”. Ya. Hari ini adalah hari terakhirku
di usia 22 tahun. Usia yang mengantarkanku esok pada usia yang lebih tua. Kukenang
kembali memori satu tahunku di usia 22 ini yang hampir expired. Dua-dua. Aku sangat
menyukai angka itu. Pun dengan segala resiko aku menyukainya, tetap saja banyak
bagian duka, lara, pilu, kelabu, abu-abu, orange (saat dimana hatiku
bersemangat), merah bata (perasaan ketika aku terpaksa diam kala aku ingin
sekali marah), hitam (kala hatiku memberontak pedih karena meninggalkan-Mu), putih
(kala cahaya embun datang menyejukkan hatiku), hijau (kala kedamaian datang,
dan keegoisanku rontok), biru (kala aku memandang teduh langitMu), kuning
(ketika semangatku mulai tumbuh dan berseri di senyumku), pink (kala kelembutan
warna itu sangat membuatku ingin terus bersikap baik dan berbuat yang terbaik),
pink orange (kala hangat dan semangat melebur indah di dadaku), merah (kala
semangat juang tinggi yang jarang bertahan lama dihidupku), hijau toska(warna
elegan yang belum bisa membuatku bersikap elegan terhadap orang lain), ungu
(lembutnya suasana hati laksana sepotong hati yg dimiliki seorang ibu) dan
berbagai warna lain yang mungkin aku lupa telah hadir di hidupku.
Dua-Dua.
Usia yang
dimulai dengan lahirnya seseorang. Namun juga berarti sebagai hari dimana orang
yang paling berharga untuk orang yang aku sayangi menghembuskan nafas yang
terakhirnya. Tidak bisa tidak. Tangisan itu pasti telah dimulai di hari itu. Hari
dimana aku dilahirkan. Aku harus menangis. Dan orang-orangpun akan menangis
mengingat hari dimana aku dilahirkan. Bukan menangis bahagia. Bukan juga
menangis sedih. Namun keduanya bercampur. Tak tau menjadi apa. Orang akan
mengingat hari itu sebagai hari dimana seseorang meninggal. Bukan sebagai hari
bahagia yang dinanti-nantikan oleh seorang anak kecil setiap tahunnya. Mungkin aku
tak perlu lagi merayakan hari kelahiranku itu. Sebab banyak orang yang berduka
ketika mengingat hari itu. Aku tak pernah menyesal telah dilahirkan pada hari
itu. Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi mungkin Alloh punya rencana dahsyat untuk
mengingatkanku mulai tahun itu. Bahwa aku bukanlah seorang anak kecil lagi yang
menginginkan agar tanggal kelahirannya diingat semua orang sebagai hari yang
bahagia. Sebagai hari dilahirkannya seorang anak yang mempunyai ibu. Dan ibu
dari sang ibu anak tersebut harus menghembuskan nafas terakhirnya di hari
kelahiran anak tersebut. Sebenernya hal itu bukanlah salah satu penggalan
cerita tragis. Masih banyak sekali orang diluar sana yang mengalami hal yang
jaaaauuuuuh lebih tragis. Manusia memang senangnya membanding-bandingkan. Namun,
ada baiknya juga jika dipakai untuk menganalisis peristiwa tadi. Mungkin semua
terlihat menjadi sangaat simple dan sederhana. Yaah. Hukum sebab akibat. Ada kelahiran,
berarti juga ada kematian. Dan hal kebetulan yang terjadi adalah tanggal dimana
aku dilahirkan adalah tanggal dimana mbah putri kesayanganku meninggal. Bukan hanya
kesayanganku, tapi juga semua orang yang mengenalnya. Itu sudah cukup simple.
Doaku untukmu
mbah putri (mbah Rohayah binti mbah Asmu’i),, semoga kau mendapatkan tempat
terindah disisi-Nya. Diampuni segala dosa-dosamu, dan ditempatkan bersama
orang-orang sholeh dan orang-orang mukmin. Aminn.
Al-fatikhah.