Jumat, 21 Februari 2014

Sweet 22 expired



Jum’at, 21 Februari 2014. Pukul 20.46 PM.

Sebuah ruangan di lantai 2 kediaman Bpk. Nurkholis Setiawan—Jogja—

Ruangan ini terasa penuh sesak akan memori setahun belakang yang telah kulalui. Banyak kisah yang mengisi setiap hariku, yang dari hari-hari tersebut, berkumpullah sebuah nama “minggu” lalu “bulan”, hingga “tahun”. Ya. Hari ini adalah hari terakhirku di usia 22 tahun. Usia yang mengantarkanku esok pada usia yang lebih tua. Kukenang kembali memori satu tahunku di usia 22 ini yang hampir expired. Dua-dua. Aku sangat menyukai angka itu. Pun dengan segala resiko aku menyukainya, tetap saja banyak bagian duka, lara, pilu, kelabu, abu-abu, orange (saat dimana hatiku bersemangat), merah bata (perasaan ketika aku terpaksa diam kala aku ingin sekali marah), hitam (kala hatiku memberontak pedih karena meninggalkan-Mu), putih (kala cahaya embun datang menyejukkan hatiku), hijau (kala kedamaian datang, dan keegoisanku rontok), biru (kala aku memandang teduh langitMu), kuning (ketika semangatku mulai tumbuh dan berseri di senyumku), pink (kala kelembutan warna itu sangat membuatku ingin terus bersikap baik dan berbuat yang terbaik), pink orange (kala hangat dan semangat melebur indah di dadaku), merah (kala semangat juang tinggi yang jarang bertahan lama dihidupku), hijau toska(warna elegan yang belum bisa membuatku bersikap elegan terhadap orang lain), ungu (lembutnya suasana hati laksana sepotong hati yg dimiliki seorang ibu) dan berbagai warna lain yang mungkin aku lupa telah hadir di hidupku.

Dua-Dua.
Usia yang dimulai dengan lahirnya seseorang. Namun juga berarti sebagai hari dimana orang yang paling berharga untuk orang yang aku sayangi menghembuskan nafas yang terakhirnya. Tidak bisa tidak. Tangisan itu pasti telah dimulai di hari itu. Hari dimana aku dilahirkan. Aku harus menangis. Dan orang-orangpun akan menangis mengingat hari dimana aku dilahirkan. Bukan menangis bahagia. Bukan juga menangis sedih. Namun keduanya bercampur. Tak tau menjadi apa. Orang akan mengingat hari itu sebagai hari dimana seseorang meninggal. Bukan sebagai hari bahagia yang dinanti-nantikan oleh seorang anak kecil setiap tahunnya. Mungkin aku tak perlu lagi merayakan hari kelahiranku itu. Sebab banyak orang yang berduka ketika mengingat hari itu. Aku tak pernah menyesal telah dilahirkan pada hari itu. Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi mungkin Alloh punya rencana dahsyat untuk mengingatkanku mulai tahun itu. Bahwa aku bukanlah seorang anak kecil lagi yang menginginkan agar tanggal kelahirannya diingat semua orang sebagai hari yang bahagia. Sebagai hari dilahirkannya seorang anak yang mempunyai ibu. Dan ibu dari sang ibu anak tersebut harus menghembuskan nafas terakhirnya di hari kelahiran anak tersebut. Sebenernya hal itu bukanlah salah satu penggalan cerita tragis. Masih banyak sekali orang diluar sana yang mengalami hal yang jaaaauuuuuh lebih tragis. Manusia memang senangnya membanding-bandingkan. Namun, ada baiknya juga jika dipakai untuk menganalisis peristiwa tadi. Mungkin semua terlihat menjadi sangaat simple dan sederhana. Yaah. Hukum sebab akibat. Ada kelahiran, berarti juga ada kematian. Dan hal kebetulan yang terjadi adalah tanggal dimana aku dilahirkan adalah tanggal dimana mbah putri kesayanganku meninggal. Bukan hanya kesayanganku, tapi juga semua orang yang mengenalnya. Itu sudah cukup simple.
Doaku untukmu mbah putri (mbah Rohayah binti mbah Asmu’i),, semoga kau mendapatkan tempat terindah disisi-Nya. Diampuni segala dosa-dosamu, dan ditempatkan bersama orang-orang sholeh dan orang-orang mukmin. Aminn. 

Al-fatikhah.